Sudah dibaca : 216 kali
Assalamu’alaikum wr. wb.
Menjadi kebiasaan saya jika berkendara dan terjebak kemacetan, apalagi jika saya belum pernah melewati daerah itu sebelumnya, atau sudah pernah tapi tidak di jam macetnya, maka saya akan melihat dan mengikuti kemana arah2 bis2 melaju.
Kenapa ? karena biasanya yang mereka lewati cenderung lebih lancar atau minimal walau awalnya terlihat sama macetnya atau lebih parah tapi kemudian akan lebih lancar. Itulah yang terjadi beberapa waktu lalu ketika saya lewat daerah Slipi. Saya ikuti bis yang semuanya mengarah ke kanan, padahal berdasarkan pengalaman harusnya akan lebih lancar ke kiri karena disana ada pertigaan ke kiri yang biasanya pergerakannnya relatif lebih lancar, baru ketemu perempatan lampu merah.
Tapi ternyata pilihan dan keputusan saya tepat, karena walau awalnya terlihat lebih macet namun kemudian akhirnya jalur itu bisa melewati beberapa mobil sekaligus sekali lampu hijau. Metode ini walau gak selalu berhasil tapi prosentasi benernya masih lebih besar.
Alasannya adalah karena para supir bis itu adalah yang setiap hari lewat jalan itu. Berapa kali dalam sehari mereka melewati jalan yang sama. Mereka hapal kapan macet, harus lewat mana, bagaimana memilih dll. Mereka sudah tau untungnya, sadar resikonya dan ‘ngeh’ potensinya. Saya tinggal mengikuti, enak kan ? 🙂
Ada 2 hal yang bisa saya ambil dari hal itu :
1. Intuisi. Hal tersebut bisa mengasah intuisi kita. Pelajaran berharga dari pengalaman toh gak harus dari apa yang kita alami sendiri, bisa juga diambil dari pengalaman orang lain. Lama kelamaan, gabungan dari pengalaman sendiri dan orang lain itu akan makin mengasah intuisi kita. Dan belajar intuisi itu gak ada teorinya.
2. Jalan pintas. Gak selamanya jalan pintas itu berkonotasi negatif loh. Dengan mengikuti yang sudah pengalaman maka kita akan menempuh jalan/cara yang lebih cepat. Mengetahui mana jalan yang benar, menghindari jalan kegagalan dan mempersingkat waktu dalam meraih sukses. Walaupun tetap saja kita perlu berjuang dan action untuk itu.
Dalam dunia usaha, dikenal istilah ‘tenant anchor’ yaitu tenant atau pemilik kios di mall baru yang berfungsi sebagai anchor atau jangkar. Mereka berdasarkan pengalaman mampu menarik tenant lain untuk mengikuti langkahnya memilih mengambil space disana. Intuisi mereke begitu dipercaya para pengekornya. Contohnya Carrefour, Giant, jaringan bioskos 21, Bread Talk dll. Klo udah ada mereka hampir bisa dipastikan mall baru tersebut akan segera ramai dan menarik tenant2 lain untuk bergabung.
Dalam skala yang berbeda ada juga ‘personal anchor’ yaitu orang2 yang berfungsi sama, menarik yang lain untuk ikut mengambil/menyewa suatu kios. Pak Haji Alay, salah satu inspirator saya, sudah masuk kategori ini. Rasanya sudah biasa jika kita ke tempat pak Haji di Tanah Abang kadang terselingi oleh datangnya para marketing developer mall/pusat belanja yang menawarkan dan meminta pak Haji untuk menjadi tenant mereka. Tujuannya tak lain tak bukan agar banyak yang mengikuti jejaknya karena percaya pada intuisi pak Haji.
Sampai2 saya pernah denger iklan mall baru di radio ‘Wah ngkoh Edi sudah ambil kios di mall **** loh, pastinya menguntungkan dan menjanjikan. Yok kita juga ambil ramai2 disana’.
Mereka biasanya diberi kemudahan oleh pihak developer, entah diberi diskon, atau dibebaskan uang sewa diawal, hanya membayar service charge atau diberi space gratis untuk promosi dll. Intinya agar para anchor bersedia.
Oh ya, sebagian dari kita mungkin telah menyadari, kenapa jika ada Indomaret pasti didekatnya akan hadir Alfamart atau sebaliknya, tergantung mana yang lebih dulu. Itu karena salah satunya mengikuti. Dengan mengikuti jejak kompetitornya artinya mereka mengurangi tahapan survey yang perlu dilakukan, yang tentu memerlukan biaya, waktu dan tenaga. Survey yang termasuk berapa potensi orang2 disekitar atau yang lewat, yang akan menjadi konsumen nantinya, berapa rata2 penghasilan yang akan dibelanjakan dll.
Itulah sebabnya jika kita bisa mendapatkan lokasi di dekat Indomaret, Alfamart atau yang ada ATM suatu bank maka bisa dipastikan itu adalah lokasi strategis :).
Berarti kita menjadi follower donk. Gak ada yang salah toh, jika kita gak bisa menjadi inovator, follower pun jadilah. Sama halnya selain menjadi pemimpin (minimal rumah tangga) kita juga sekaligus menjadi ‘yang dipimpin’. Sah2 saja menganut ATM asal Amati Tiru Modifikasi yang menandakan kreatifitas kita, bukan Amati Tiru Mirip hehe. Asal sesuai etika dan ‘yang diikuti’ tidak merasa didzalimi.
Wassalam.
-Eko June-