Sudah dibaca : 408 kali
Anda mungkin pernah mendengar orang mengatakan; “gue yang susah-susah
membangun semuanya ini, tapi yang menikmatinya malah orang-orang sesudah gue.” Sounds familiar ya? Benar. Karena memang banyak orang yang merasa berat untuk merelakan orang lain menikmati sukses itu. Jadi, tidak mengherankan jika ada orang yang merasa bahwa semua jerih payah yang sudah dilakukannya belum tertebus. Sehingga, dia merasa pantas untuk mendapatkan semua imbalannya. Lantas berebut mendapatkan kedudukan. Dan berusaha mati-matian untuk mempertahankannya selama mungkin.
Dalam salah satu sesi radio talkshow, seorang pendengar menelepon kami. Ketika itu kami sedang membahas tentang pelajaran yang disampaikan seekor kupu-kupu kepada manusia. Kita belajar bagaimana sang ulat yang buruk rupa berupaya keras membangun dirinya, hingga kemudian berhasil bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah. Kata sang penelepon;”Tapi, setelah sang ulat sukses menjadi kupu-kupu indah malah cepat menjadi mati. Mengapa mesti begitu?”
Saya beruntung mendapatkan pertanyaan serupa itu. Karena pertanyaan itu membawa kita kepada sebuah kesadaran akan banyak hal. Bagi saya, perilaku yang ditunjukkan oleh sang kupu-kupu mengisyaratkan tiga hal penting. Pertama, kesadaran tentang betapa kita bertanggung jawab untuk mempersiapkan generasi penerus, atau yang biasa kita sebut sebagai talent management. Kedua, kesadaran atas betapa indahnya membebaskan diri dari sifat monopoli dan keserakahan. Dan ketiga, kesadaran tentang hadiah terindah yang disediakan bagi orang-orang yang berhasil membuat hidupnya bermakna.
Apa yang diajarkan sang kupu-kupu tentang talent management? Katanya, kita semua bertugas untuk menjadi orang yang memiliki keunggulan. Keunggulan itu bisa membawa kita kepada pencapaian yang tinggi. Dan, sesaat setelah kita meraih pencapain tinggi itu, kita mesti mulai mewujudkan tanggungjawab untuk mempersiapkan generasi penerus. Dengan begitu kita bisa membantu orang lain menapaki pencapaian yang tinggi pula.
Seekor kupu-kupu membawa sebuah misi yang sangat agung. Yaitu; menghasilkan telur. Dan, telur-telur itu menetas menjadi ulat, untuk kemudian bermetamorfosis menjadi kupu-kupu lainnya. Ulat sendirian tidak bisa bertelur untuk menjaga kelangsungan hidup spesiesnya. Sehingga, menjadi kupu-kupu tiada lain adalah menjadi penghubung antara generasi masa kini dan masa depan. Artinya, ketika memilih kita untuk menjadi manusia sukses dihari ini; sesungguh alam tengah menurunkan mandat kepada kita untuk menjadi jembatan antara sukses masa kini dan masa depan melalui generasi-generasi baru yang kita persiapkan untuk menggantikan kita.
Pemahaman ini juga mengantarkan kita terhadap kesadaran atas betapa indahnya membebaskan diri dari sifat monopoli dan keserakahan itu. Seperti yang dikatakan sang penelepon tadi; sang kupu-kupu rela mati tak lama setelah itu. Berkebalikan dengan kupu-kupu; kita para manusia sering menginginkan kesuksesan itu menjadi milik kita selama-lamanya. Kita takut jika kedudukan yang kita sandang ini berpindah tangan, atau dikembalikan kepada sang pemilik mandat. Makanya, tidak heran jika kita selalu sibuk dengan usaha-usaha untuk mempertahankan posisi bagus itu untuk diri kita. Kita lupa bahwa masa kita sudah tiba. Dan kini giliran orang lain untuk menikmati sukses itu.
Padahal, seperti sang kupu-kupu seharusnya kita tidak terjebak pada keindahan diri. Sebab, sesaat setelah menjadi indah; kita mempunyai tanggungjawab untuk menyerahkan keindahan itu kepada orang yang berhak untuk menerimanya dari kita. Meniru sang kupu-kupu bisa membantu kita terbebas dari sifat tamak. Sehingga, ketika tiba saat untuk menyerahkan kursi itu kepada orang lain, tidak terasa berat.
Saya mengerti bahwa sikap seperti ini agak sulit untuk diterima akal. Tak lazim. Terutama dijaman ketika orang saling berlomba untuk memperebutkan kedudukan dan jabatan. Tapi, saya mengenal seseorang yang berjibaku ketika keadaan serba sulit. Berusaha mati-matian untuk membangun sesuatu pada saat segalanya masih belum berbentuk. Namun, ketika berhasil membenahi segala sesuatunya; dia malah melepaskan kesempatan untuk mereguk nikmat hasilnya. Baginya, tugas itu sudah selesai. Lalu, secara perlahan namun pasti dia menarik diri dan menyerahkan sepenuhnya pencapaian itu kepada orang lain.
Lantas, apa yang didapatkan sang kupu-kupu setelah semua susah dan jerih itu? Mengapa dia memilih untuk bergegas mati? Bukankah tidak sebaiknya dia menikmati semua itu sedikit lebih lama lagi? Menggapa setelah seseorang bersusah payah membangun sesuatu harus menyerahkan hasil kerja kerasnya kepada orang lain? Rangkaian pertanyaan ini mengantar kita kepada kesadaran yang ketiga.
Sang kupu-kupu mengingatkan kita tentang hadiah terindah yang disediakan bagi orang-orang yang berhasil membuat hidupnya bermakna. “Hey, ketahuilah…” begitu sang kupu-kupu berkata. “Tuhan telah menyediakan hadiah yang lebih indah dialam keabadian yang menanti kita…..” lanjutnya. Oh, rupanya kebahagiaan hakiki itu adanya tidak dialam material. Manusia-manusia yang tak henti berbuat kebajikan dihibur oleh kabar bahwa; semua perbuatan baiknya untuk orang lain pasti berbalas kebaikan. Dan Tuhan sudah menyediakan hadiah untuk setiap kebajikan yang diperbuatnya. Apakah anda meyakini hal itu?
Apakah anda juga yakin bahwa hadiah dari Tuhan lebih indah dibanding apapun yang bisa disediakan manusia? Saya meyakini itu. Dan sekarang kita mengerti; mengapa sang kupu-kupu mengajari kita untuk berlapang dada ketika menyerahkan kesuksesan yang kita bangun itu kepada orang lain. Karena, rupanya, ada imbalan lain yang jauh lebih bernilai dimata Tuhan. Sang kupu-kupu mengajarkan bahwa yang terpenting bagi kita adalah membaktikan diri bagi apapun yang kita tekuni. Lalu, mengijinkan orang lain menikmatinya. Karena, bagi kita. Sudah disediakan. Hadiah. Yang lebih. Indah.
Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
1 comment. Leave new
Persahabatan bagai kepompong..
merubah ulat menjadi kupu-kupu..
Klo dipikir2 nih blog kayak kupu2 donk, siap menelurkan banyak “beranie gagal” lainnya yang siap untuk gagal dan bangkit menjadi kupu2.
Izin sebar di blog yach!