Sudah dibaca : 196 kali
Rie mengajak herman dan anaknya yang berusia 6 tahun [pedagang di kios kecil dekat rmh] pergi jalan-jalan ke Mall, sebab salah satu definisi orang kaya menurut herman seperti itu.
Sederhana, lucu, sekaligus tragis.
Rie : “Apa rasanya kopi itu ?”
Rie : “Herman, café ini gak secanggih warkop yang membuatkan kopi langsung dengan gulanya dan kita tinggal aduk”
Aku lantas menyodorkan gula sama Herman yg masih bingung.
Rie : “Kamu tahu berapa harganya segelas kecil ini ?, lebih besar dari keuntungan dagangan kios kamu selama 2 hari”
Kali ini herman melotot hampir tersedak.
Keuntungan dagangan herman seharinya sekitar 10 s.d. 20 ribu. Kemudian dipotong ongkos angkot 4 ribu dan makan sekali sehari 5 ribu. Sebungkus nasi itu masih harus berbagi dengan anaknya. Kalo lagi apes dan dia Cuma dapat keuntungan 10 ribu, maka praktis herman hanya mengantongi keuntungan seribu perak berjualan dari jam 7 pagi hingga tengah malam.
Rie : “Kamu coba lagi rasanya kopi yang sudah kau kasih gula itu, apa rasanya sama atau beda dengan kopi sachet yang ada di kios kamu ?”
Herman : “Hampir tak ada bedanya, bang. Rasa kopi
dimana-mana sama aja”
Rie : “Lebih enak mana perasaan kamu minum kopi di café ini atau di kios kamu”
Herman : “Lebih enak minum kopi di kios bang, bisa bebas sambil angkat kaki, bisa bebas sambil duduk gaya apa aja”
Rie : “Kamu paham sekarang kan ?, minum kopi adalah perkara selera. Kalau kamu merasa kopi sachet lebih enak dan tempat minum kopi paling indah di kios kamu sendiri. Maka orang-orang yg ada di café ini harus iri sama kenikmatan minum kopimu itu, kamu lebih kaya dari mereka semua dalam urusan minum kopi”
Herman kini tersenyum sumringah. Kemudian meluncurlah cerita tentang cita-citanya memperbaiki hidup dengan sholat dan naik haji
Herman : “Saya sekarang tiap kali waktu sholat tutup kios, bang. Saya berdoa, udah 3 tahun tak ada perkembangan usaha”
Rie : “Bagus itu, lantas kalo selama setahun ke depan kamu terus sholat dan beribadah dengan rajin ternyata usahamu gak berkembang, apa kamu berhenti sholat ?”
Kali ini herman bener-bener gak menyangka reaksi jawabanku dan hanya terdiam.
Rie : “Kalo usahamu berkembang dan kamu bisa menabung, apa keinginan kamu”
Herman : “Naik haji, Bang”
Rie : “Mantap…sekarang kamu mau mencoba menyisihkan uang, misalnya 500 atau 1000 perak setiap hari ?. Artinya dalam sebulan tabungan kamu 15 atau 30 ribu”
Herman : “Berat bang, belum tentu bisa, saya mau mencobanya”
Rie : “Kamu punya KTP ?”
Herman mengangguk dan sinar matanya tampak bertanya-tanya.
Rie : “Sekarang sudah gak sempat ke Bank, besok atau lusa kita sama-sama pergi ke Bank, kita buka rekening buat tabungan naik haji kamu, nanti kamu ingatkan aku. Bawa KTP jangan lupa”
Jelas herman tak punya uang buat setoran awal buka rekening di
Bank yang ratusan ribu rupiah, itu akan jadi urusanku dan aku tak mau menceritakannya sekarang sama Herman, takut semangat menabungnya jadi lemah atau mungkin malah hilang.
Herman : “Biaya naik haji kan puluhan juta, kalo saya nabung segitu, kapan saya naik hajinya, bang ?”
Rie : “Kapan kamu mati, herman ?”
Herman : “Ada-ada aja abang ini, nanyanya aneh”
Rie : “Pertanyaan kamu barusan lebih gila lagi, sama gilanya ketika kamu sholat dan berdoa lantas berharap kios kamu jadi toko besar tanpa kamu melakukan apapun”
Masih banyak obrolan lucu dan gak penting lainnya, setelah dari strabuck kuajak herman ke pasar Bogor buat beli kopiah haji, kubiarkan dia memilih kopiah haji sesuai keinginannya. Kemudian kuantarkan dia pulang ke kios mungilnya.
Rie : “Hari ini kamu udah jadi orang kaya seperti yang kamu ceritakan, kamu udah menginjakkan kaki di mall, terus kamu udah makan dan minum di tempat orang kaya. Sekarang kamu tinggal berusaha menabung minimal 500 perak per hari, sebulan sekali nanti kamu tabung uang itu di Bank. Satu hal lagi, kamu mau kan pakai kopiah haji itu setiap hari sambil jualan ?”
Herman : “Aku malu bang, kalo harus pakai kopiah haji tiap hari”
Rie : “Wahai haji herman, naik haji bukan urusan kopiah yang kau dapat halal dengan membeli dan bukan mencurinya. Kalo kamu nanti terkabul naik haji sekalipun, gak perlu malu kalau ke mesjid pake topi atau gak pakai kopiah”.
========================================================
Ketika kita bisa memaknai bahwa makan fast food yg puluhan ribu atau makan di restoran mewah ratusan ribu, pada hakekatnya sama nikmatnya dengan makan di warteg pinggir jalan seharga 5 ribu perak.
Makan adalah persoalan kebutuhan kalori dan rasa kenyang, bukan soal jumlah dan harga.
Ketika kita bisa tidur di hotel mewah atau kasur butut di kost atau di emperan jalan dengan sama nikmatnya. Kalo tempat kita tidur dikaitkan higienis dan kesehatan, tentu soal lain. Namun esensi tidur adalah perkara memejamkan mata dan terlelap, tak terkait dengan prestise.
Begitulah hidup, sederhana saja…seperti definisi orang kaya menurut Herman : manusia yg jalan – jalan & belanja di Mall
Special Thank’s To : Herman
“Buatku Herman adalah jelmaan Chris Gardner di film The Pursuit Of Happyness yg diperankan Will Smith”
Herman aslinya dari Madura, matanya buta sebelah, terdampar di Bogor dan berjualan rokok serta pernak-perniknya di kios kecil deket rumah Rie. Punya anak laki-laki usia 6 tahun yg selalu dibawanya kemanapun dia pergi.
Mantan Istrinya meninggalkan Herman dan anaknya balik ke madura ketika anaknya berusia 1 tahun, alasan klise karena kehidupan Herman tidak menjanjikan, kabar terakhir istrinya sekarang udah kawin lagi.
Setiap kali Herman bercerita tentang mantan istrinya, matanya berair dan suaranya lirih. Kegigihannya membesarkan dan merawat anak lelakinya dalam keterhimpitan hidup, mengingatkanku pada Chris Gardner.
Oleh : ririe_genta
2 comments. Leave new
inspiring…
ma’ kasih yah 🙂
buat Herman, selama berjuang 😉
moga tulisan ini bisa menginspirasi…
tuk terus berbagi dan menikmati hidup 🙂
salam dari jiwa,
dauRIE
ririe_genta@yahoo.com
http://daurie.multiply.com