Sudah dibaca : 352 kali
Namanya Paijo, letak rumahnya berbeda blok dan berbeda RT dengan rumahku, tetapi asih satu RW. Setelah pensiun dini dari pekerjaannya di salah satu hotel kelompok tercontinental bertaraf internasional, maka Paijo mencoba berwiraswasta, dalam angan Paijo berwiraswasta adalah dambaan insan pemberani. Menurutnya wiraswasta itu erasal dari kata wira yang artinya berani dan swasta yang bermakna usaha. Maka kalau kita gabung maknanya berani berusaha sendiri. Suatu cita-cita yang mulia menurutku.
Pertama kali Paijo menggunakan uang pensiunnya adalah membuat usaha warung mie ayam, letaknya di gerbang depan komplek perumahan kami. Lokasi penjualannya menurutku strategis, di blok toko-toko di persimpangan jalan. Dari pengamatanku pengunjungnya yang datang tidak begitu banyak, terkadang ada satu-dua motor yang parkir dimuka warungnya. Hanya berselang satu semester, aku lihat warungnya sudah siap disewakan ke calon pengusaha yang lain, karena ada tulisan “Dikontrakkan Ruko” di rolling doornya. Paijo rupanya gagal dalam berdagang mie ayam.
Sebagai insan pemberani, kegagalan Paijo yang pertama tidak dianggap “gagal” tapi pelajaran, Paijo sudah siap dengan usaha yang kedua yaitu berjualan kain batik asal kampung halamannya Yogyakarta di Ciputat, untuk bisnis batiknya ini aku belum sempat mampir ke tokonya, sehingga tidak bisa mengulasnya.
Dua tahun berlalu, kemarin, aku melihat di depan rumahnya ada satu truk yang parkir di depan rumahnya bukannya mengirim kain batik tetapi mengangkut isi rumahnya. Katanya Pak Paijo akan mudik ke Yogjakarta, kota kelahirannya setelah rumahnya dijual, bisnis batiknya bangkrut. Paijo akan tinggal di Yogyakarta. Menurut tetangga sebelah rumah, Paijo sekarang di sana jualan beras. Syahdan menurut info terbaru, Paijo masih belum puas dengan bisnisnya karena saingannya lebih agresif dalam memberikan hadiah-hadiah kepada pelanggannya sehingga bisa dikatakan bisnisnya asal jalan saja.
Lain lubuk lain ikannya, demikian juga dengan bisnis. Di kampung halamanku di kaki Gunung Slamet ada seorang petani cabe, namanya Muheni. Muheni bertani cabe sudah belasan tahun tapi tetap eksis, bahkan pada saat kemarau kemarin mampu membeli kendaraan angkutannya. Tidak sering bisnisnya berjalan mulus, karena banyak petani yang lain juga mengikuti jejaknya bertani cabe. Tentu saja dengan banyaknya supply cabe maka stok di pasaran menumpuk, dus harganya menjadi menurun drastis. Permainan bisnis adalah seperti belajar naik sepeda, terkadang berjalan lurus terkadang terjatuh, tetapi yang prinsip kesetimbangan harus selalu dijaga agar tetap terkendali. Di musim kemarau saat susah air, biasanya para petani saingannya berganti menanam yang lain, tetapi Muheni tetap bertanam cabe, tak di duga kejadiaan ini hampir merata di seluruh pelosok Nusantara. Petani cabe yang tetap setia pada bisnisnya menjadi sedikit, padahal permintaan banyak, akhirnya petani cabe bisa menjualnya dengan harga yang meningkat. Para ahli ekonomi menyebutnya ini hukum pasar. Muheni menganggap bahwa ini adalah karunia Ilahi, karena dengan kesetiannya bertanam cabe membuat dia mendapat untung besar sehingga dia bisa pergi haji dan membeli kendaraan angkutan yang baru.
Terkadang untuk menyikapi rezeki yang datang dari Tuhan kita mesti setia terhadap bisnis kita. Permainan kehidupan mensyariatkan seperti itu, ada daya upaya, ada energi yang keluar, ada kesetiaan untuk merubah energi menjadi rezeki, Tuhan memberikan perubahan hanya kepada umatnya yang mau merobah nasibnya, karena itu adalah sunatullah, atau hukum alam.Tuhan memberi rezeki kepada orang yang telah membuka pintu rezekinya.
Bersabarlah sedikit untuk bisa menuai padi, tugas anda hanya menanam, memupuk, menyiangi, biarkan selebihnya Tuhan yang menyelesaikannya, merubah satu biji menjadi seribu biji. Percayalah itulah rezeki yang kita nanti.
Semoga Paijo sabar dalam menjual berasnya… dan mampu menguak tabir dari kegagalannya dan semoga betah tinggal di kota gudeg.
Salam,
http ://ferrydjajaprana.multiply.com