Sudah dibaca : 336 kali
Anak kecil itu berlari riang sambil sesekali bersiul. Langkah kakinya yang lincah menyusuri trotoar kota yang tak lagi rapi. Tangan kanannya menenteng kotak yang berisi peralatan menyemir. Dengan mata sangat bersemangat dia menghampiri seorang laki-laki yang tengah asyik menghabiskan makan siangnya di warung tenda didepannya.
”Permisi Om, boleh disemir sepatunya ?”, tanya si anak kecil dengan penuh harapan.
Laki-laki didepannya tampak sangat acuh dan tetap melanjutkan menyantap makan siangnya.
”Sepatunya disemir ya Om, sepatu Om yang mahal akan lebih mengkilat dan membuat Om jadi lebih keren kalau disemir”, lanjut si anak sudah mulai memakai jurus rayuannya.
Laki-laki itu sejenak menghentikan makan siangnya, dilihatnya anak kecil didepannya dengan tatapan mata menyelidik. Anak kecil didepannya mungkin seumuran dengan anak pertamanya yang ada di rumah. Hati kecilnya muncul rasa kasihan, lalu dilepas sepatu yang dikenakannya untuk disemir. Dia mengikhlaskan kakinya sedikit tergantung di kursi.
Dengan sangat antusias, si anak kecil mengambil sepatu dan duduk didekat laki-laki tadi menyantap makan siangnya.
Laki-laki setengah baya itu menatapi si anak kecil yang sedang menyemir, sesekali terdengar siulan nyanyian kecil, tampak begitu menghayati pekerjaannya dan berbahagia.
Pelan-pelan laki-laki itu beringsut dari tempat duduknya untuk mendekati si anak kecil.
”Masih sekolah dik?, tanya Laki-laki setengah baya.
”Masih Om, kelas 5 SD”, jawab sang anak kecil sambil menatap dengan tatapan polos kearah laki-laki didepannya
”Orang tuanya masih ada dik?, lanjut sang laki-laki tadi bertanya
”Masih om, bapak saya tukang becak di depan komplek Dharma, Ibu saya Tukang Nyuci di komplek Dharma juga”, jawab sang anak sambil menunjuk perumahan Dharma yang kebetulan ada di seberang jalan.
Laki-laki itu terdiam sesaat. Dalam fikirannya tergelitik, mengapa anak sekecil ini harus membantu mencari nafkah padahal kedua orang tuanya sudah bekerja. Seharusnya anak sekecil ini masih sangat riang bermain atau merajuk kepada kedua orang tuanya. Dia menarik nafas dalam sambil mengingat anak pertamanya yang dirumah. Anaknya masih suka merajuk meminta mainan atau meminta diantarkan untuk bermain sepulangnya dia dari kantor, sementara anak kecil didepannya tampak sangat mandiri dan kuat menghadapi kerasnya kota.
Dengan sangat hati-hati laki-laki itu bertanya agar tidak menyinggung perasaan anak kecil didepannya.
”Dik, kenapa nggak di rumah saja belajar, atau bermain, khan kamu masih kecil ?”
”Om, saya masih bisa belajar nanti malam setelah saya selesai melakukan pekerjaan saya. Pulang sekolah saya langsung menyemir sepatu, sambil menyemir saya masih bisa bermain dengan teman-teman sesama penyemir sepatu. Sebelum maghrib saya pasti sudah sampai dirumah, jadi masih sempat istirahat sebentar sebelum belajar.”, jawab sang anak bersemangat.
Laki-laki ini tertegun, luar biasa hebat !, anak sekecil ini sudah berfikir membagi waktu yang semuanya menjadi produktif.
Anak kecil itu melanjutkan bicaranya.
“Sebenarnya om, penghasilan bapak saya sudah cukup untuk makan kami bertiga. Penghasilan ibu saya sebagai tukang nyuci dan pendapatan saya menyemir selalu kami tabung. Karena sekarang kami masih mengontrak rumah petak. Kami ingin bisa beli rumah sendiri sehingga tidak perlu membayar kontrakan rumah petak setiap bulannya”. Sambil menjawab, si anak kecil sesekali mengusap peluhnya karena udara kota hari ini memang sangat terik.
Anak kecil itu melanjutkan bicaranya sambil menyerahkan sepatu yang telah selesai disemir.
”Kami ingin punya rumah om, maka kami harus memulai bekerja keras untuk mendapatkannya”, lanjut sang anak kecil dengan muka bahagia.
Kembali laki-laki ini tertegun, tangannya merogoh saku untuk memberikan satu lembar uang lima ribuan. Setelah mengucapkan terima kasih anak kecil ini berlari-lari kecil sambil tetap bersiul-siul.
Masih terngiang di telinga laki-laki itu ucapan terakhir si anak kecil. Dia tertunduk dalam sambil berkata pelan, ”Berapa banyak hal yang aku ingin punya, tetapi aku tak pernah mulai melakukannya”.
Selamat menjalani hari dengan penuh rahmat.
Cahyana Puthut Wijanarka
1 comment. Leave new
Bener-bener bikin hati terharu…
begitu banyak cara datangnya pelajaran hidup, untuk terus berjuang walau datang dari seorang anak kecil.
Izin sebar di blog yach!